Pasar yang terbuka menuntut produksi kontinu dan bermutu tinggi. Bisakah terpenuhi?
Siapa tidak tergoda berbisnis Anguilla sp.? Ikan primadona air tawar itu begitu diminati pasar lokal dan mancanegara dalam bentuk segar ataupun olahan. Konsumen sidat utama dunia adalah Jepang.
Penduduk Negeri Sakura itu terbiasa mengonsumsi sidat panggang atau disebut unagi kabayaki. Menurut Syaiful Hanif, Chief Product Officer CV Humamoa, produsen unagi kabayaki di Banjarnegara, Jateng, Jepang membutuhkan sekitar 100 ribu ton sidat panggang dan hidup setiap tahun. “Sedangkan dari total unagi hanya sepertiganya dipenuhi oleh Jepang. Dua sepertiganya diimpor dari China dan Taiwan,” imbuh Syaiful.
Permintaan kabayaki di pasar lokal juga meningkat. Selama ini kebutuhan kabayaki untuk restoran Jepang dan Korea di kota-kota besar Indonesia diimpor langsung dari China dan Taiwan. Namun, sambung Syaiful, saat ini pengusaha kabayaki di China dan Taiwan lebih memilih ekspor ke Jepang lantaran harga jual yang lebih tinggi. Akibatnya, Indonesia kekurangan stok kabayaki. “Kebutuhan sidat panggang di Indonesia saja 20 ton/bulan. Artinya, 240 ton/tahun,” katanya. Jika dikonversi dalam bentuk bahan baku, membutuhkan sekitar 40 ton sidat.
Sementara itu, harga sidat siap konsumsi ukuran 200-250 gr/ekor berkisar Rp140 ribu – Rp150 ribu/kg. Harga kabayaki di pasar lokal lebih dari Rp500 ribu/kg. Harga jual sidat yang tinggi sayangnya tidak diimbangi dengan kualitas bahan baku premium. Pengetahuan menghasilkan sidat bertekstur daging lembut, empuk, tidak bau tanah, dan mengandung lemak yang cukup belum banyak diketahui pembudidaya. Bagaimana caranya?
Kualitas yang Diminta
Syaiful menuturkan, untuk membuat kabayaki harus menggunakan sidat yang gemuk. Sidat yang memanjang menandakan kekurangan nutrisi dalam tubuh. “Nah ketika di-fillet tulangnya gede. Dan ketika dipanggang, rendemennya lebih dari 60%, jadi daging utuhnya cuma 40%,” terangnya dalam acara Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 di Solo, Jateng (3/9).
Sebelum melangkah ke budidaya sidat, pembudidaya harus mengetahui kualitas sidat yang diinginkan pasar. “Karena kita sudah biasa mengimpor sidat panggang dari Taiwan itu ukuran 180–200 gr/pak, maka sidat hidupnya kurang lebih 350-400 gr/ekor. Jadi rendemennya 45%,” ulas sambung lulusan Politeknik Jurusan Mesin ITB angkatan 1996 ini.
CV Humamoa sendiri sudah menjual kabayaki ke salah satu restoran Jepang di Bandung, Jabar sebanyak 300 kg/bulan. Setidaknya butuh waktu 5 bulan agar kabayaki buatan Syaiful diterima pasar. “Butuh 5 bulan bolak-balik. Terlalu keras, warnanya masih pucat, tangkainya terlalu strong atau sausnya terlalu strong. Karena itu ada sake jepang jadi kami bikin saos sendiri, kami mix sampai pas sesuai restoran,” urai pria kelahiran 8 Agustus 1977 ini.
Selain itu, pembudidaya juga harus mempelajari tingkah laku sidat. Misalnya, sidat ikan karnivora dengan protein sekitar 45%, hidup dalam kondisi bergerombol, 60% oksigennya dari permukaan kulit, bersifat kanibal dan dominasi. “Artinya, harus dilakukan grading,” timpal Syaiful.
Kolam Resirkulasi
Menurut Syaiful, segmentasi budidaya sidat terdiri dari pendederan I ukuran 0,16 – 5 gr selama 3 bulan, pendederan II ukuran 5 – 50 gr selama 3-4 bulan, dan pembesaran ukuran 51 – 350 gr selama 4-5 bulan. Budidaya sidat memerlukan air jernih sehingga ia pun menggunakan sumur air dalam sebagai sumber air. Wadah budidaya sidat berupa bak fiber berbentuk kotak, bulat, lonjong atau oktagonal, dan plastik high density polyethylene (HDPE). Saat ini ia tengah mencoba memelihara benih sidat ukuran 50 gr di bak fiber berbentuk oktagonal dengan padat tebar 20-40 kg/m3. “Satu bak diprediksi panen 200 kg,” bebernya.
Air dijalankan dengan sistem resirkulasi agar selalu mengalir mengikuti ritme hidup sidat yang menyukai aliran air. Selain itu, sistem resirkulasi juga menghemat penggunaan air dan lahan budidaya, kualitas air terkontrol dengan baik sehingga mempercepat laju pertumbuhan sidat dan tidak terpengaruh perubahan lingkungan. Yang paling penting, ungkap Syaiful, “Sidat yang dihasilkan higienis, tekstur dagingnya empuk dan lembut, tidak berbau tanah, serta memiliki lemak yang cukup.”
Salah satu ilmu yang harus dikuasai dalam budidaya sidat adalah mengubah pakan sidat dari pakan alami berupa ikan, udang, kepiting, atau hewan air menjadi pellet. “Kami menggunakan cacing lumbricus. Menggunakan cacing pada pakan kemudian pelan-pelan cacingnya itu tidak digunakan sama sekali,” ungkap dia. Syaiful memanfaatkan pakan pellet kakap keluaran Japfa Comfeed dengan kadar protein 45%.
Pakan ini hanya mengandung 12% lemak, sementara kebutuhan lemak untuk sidat panggang mencapai 21%. Syaiful pun punya trik jitu. Tiga minggu sebelum panen sidat, ia menambahkan lemak dari minyak jagung atau minyak ikan. Mau mencoba?
Windi Listianingsih sumber
0 comments:
Posting Komentar